Puaskah Lewat Samarinda-Bontang?
Oleh : Chrisna Endrawijaya
“JANGAN tanya saya, tanya sama yang survei.” Kalimat ini meluncur dari bibir Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak ketika berkunjung ke Bontang 25 April lalu.
Jawaban itu keluar, ketika saya bertanya pada Gubernur apakah ada korelasi antara jalan rusak Samarinda-
Bontang dengan hasil survei sejumlah lembaga yang menyebut sebagian besar warga puas dengan kepemimpinan Awang Faroek sebagai gubernur di periode ini.
Tentu banyak yang ingin tahu, apakah hasil survei itu juga mewakili suara miring warga Bontang-Samarinda yang tiap hari merasakan ‘sakitnya’ punggung ketika melintasi jalan sepanjang 120 kilometer yang sama sekali tak mulus itu. Apa mereka termasuk golongan yang puas itu?
Juga pasti banyak yang ingin mendengar langsung, bagaimana komentar Gubernur atas kondisi jalan ini dan bagaimana tanggapannya atas keluhan warga yang sudah bosan mengeluh atas kondisi ini.
Karena toh ketika ke
Bontang untuk menghadiri pengapalan perdana Liquefied Natural Gas(LNG) domestik di kilang PT Badak NGL saat itu, Awang Faroek jelas melintasi jalan tersebut.
“Pasti, pasti ada program perbaikan di instansi terkait,” ujar Gubernur, singkat. “Tapi soal itu (puas atau tidak warga Bontang-Samarinda), tanya sama yang survei, ya,” tutup gubernur.
Yah, keluhan soal jalan rusak Samarinda-Bontang memang sudah sering disampaikan. Bisa jadi, perbaikannya terasa pelan karena pejabat ketika melintas menggunakan kendaraan yang terlalu bagus dan terlalu nyaman.
Shock-breakeratau per kendaraannya pasti kualitas bagus. Sehingga kurang merasakan getaran ketika melintasi lubang-lubang yang bertebaran sepanjang jalan.
Karena fakta yang dirasakan warga ketika melintas, jalan Samarinda-Bontang sangat tidak nyaman.
Saya sudah merasakan semua kendaraan menempuh rute Samarinda-Bontang. Mulai menggunakan motor Yamaha MX milik pribadi, naik bus umum AC dan non-AC, naik ‘taksi gelap’ jenis Avanza, hingga taksi resmi jenis sedan. Perjalanan ini sudah saya lakukan selama 1 tahun setengah ini.
Tiap-tiap kendaraan, memiliki tingkat kenyamanan yang berbeda ketika melintasi jalan rusak Samarinda-Bontang.
Yang paling menderita tentu saja ketika menggunakan bus. Padahal (para pejabat harus tahu), meski bikin menderita, transportasi bus Samarinda-Bontang masih diminati. Sekali berangkat, minimal ada 30 orang yang menumpang. Dalam sehari, bisa 5 hingga 6 kali bolak-balik. Artinya, ada ratusan penumpang yang naik.
Namun, pernahkah para pejabat pemegang anggaran merasakan ‘nikmatnya’ naik bus umum ini? Atau minimal melihat kondisi bus itu?
Bagi yang pertama ke
Bontang pakai bus, pasti langsung kaget. Karena secara visual kurang meyakinkan. Busnya berkarat dan terkesan tua.
Biasanya kondisi bus non-AC memang sekadarnya. Dalam arti, bus layak jalan, tapi tingkat kenyamanan rendah. Tapi inilah transportasi termurah. Hanya Rp 20 ribu, penumpang sudah bisa sampai Bontang dari Samarinda.
Bagi penumpang bertinggi 170 cm, siap-siap kaki tertekuk paksa dan keram karena luas tempat duduk kekecilan. Yang paling sadis, adalah kondisi shock-breaker yang tak sama dengan mobil pejabat.
Menurut saya ini benar-benar sadis, karena ketika melintasi lubang ukuran sedang atau jalan rusak kategori sedang, bunyinya sudah nyaring dan penumpang tergoncang. Apalagi ketika melintasi lubang yang posisinya setelah turunan, pasti lebih sengsara. Karena bus ketika turunan bukit, pasti laju. Naif bila berharap si sopir mengurangi kecepatan, lebih baik mempersiapkan punggung dan bokong agar bisa beradaptasi pada guncangan-guncangan itu.
Kondisi ini akan Anda rasakan selama 3 jam perjalanan. Ketika turun, badan sakit dan tak nyaman. Tapi bagi warga yang sudah biasa, tak lagi mengeluh, hanya berdoa semoga pejabatnya diberi kesempatan merasakan hal yang serupa.
Kondisi jalan rusak sepanjang tahun di rute Bontang-Samarinda memang benar-benar miris. Saya pernah meliput gempa 7,6 skala Richter yang menghantam Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat 30 September 2009.
Ketika masuk ke kampung-kampung terpencil, jalannya mulus aspal. Bahkan meski lebar jalannya hanya 4 langkah, tetap aspal. Sungguh mengagumkan, karena Padang Pariaman bukanlah daerah sekaya Kaltim, karena APBD-nya rata-rata hanya Rp 600 miliar per tahun. Saya yang saat itu pergi bersama Kepala Bagian Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Kaltim Frediansyah, hanya geleng-geleng kepala.
Saat itu terbesit di pikiran kami, mungkinkah jalan Samarinda-Bontang semulus ini?
Padahal itu bunyi doa 4 tahun yang lalu. Mungkin bunyi doa yang sama yang tiap hari dihaturkan ratusan penumpang bus rute Samarinda-Bontang tadi. Sayangnya hingga kini belum dikabulkan.
Mudah-mudahan, perbaikan jalan Samarinda-Bontang, hingga Sangatta bisa jadi jualan politik menjelang pilkada gubernur Kaltim 2013. Sehingga minimal terus dibicarakan, dan dijanji-janjikan. Karena kalau masih dibicarakan para elit politik dan pejabat, berarti harapan agar jalanan mulus masih ada.